cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
JURNAL BIOMEDIK
ISSN : 20859481     EISSN : 2597999X     DOI : -
Core Subject : Health, Science,
JURNAL BIOMEDIK adalah JURNAL ILMIAH KEDOKTERAN yang diterbitkan tiga kali setahun pada bulan Maret, Juli, November. Tulisan yang dimuat dapat berupa artikel telaah (review article), hasil penelitian, dan laporan kasus dalam bidang ilmu kedokteran..
Arjuna Subject : -
Articles 11 Documents
Search results for , issue "Vol 6, No 1 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Maret 2014" : 11 Documents clear
REHABILITASI MEDIK PADA SKOLIOSIS Pelealu, Jane; Angliadi, Leonard S.; Angliadi, Engeline
Jurnal Biomedik : JBM Vol 6, No 1 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Maret 2014
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.6.1.2014.4157

Abstract

Abstract: Scoliosis is one of the spine deformities in which a person’s spine is bend laterally associated with or without a rotation of the vertebrae. There are several variations in the etiology, onset, prognosis, and therapy of scoliosis, but the effects of untreated scoliosis are the same, as follows: pain, and disturbances in balance, cardiopulmonal function, emotion, behaviour, and ADLs (activities in daily living). The most common symptoms of scoliosis are abnormal deformity of spine which can cause pain, decrease of quality of life, disability, comestic disturbance, functional limitation, pulmonary problems, probabilty of progression at adulthood, dan pyschological disturbance. In physical examination, midline shift of spinous process, asymmetry of the back, rib hump, asymmetry of the scapula, hip, shoulder and pelvis, as well as leg length discrepancy must be carefully examined. Besides that, a radiological examination showing the Cobb angle is also important to do. The therapy of scoliosis includes observation, rehabilitation therapy namely physical modalities, orthoses/brace, exercise, or invasive therapy such as operation. Additionally, the prognosis of scoliosis depends on sex, curve angle at first recognition, type and rotation of curve, and age of onset.Keywords: scoliosis, spine, rehabilitation, exercise, orthoses  Abstrak: Skoliosis adalah deformitas tulang belakang yang ditandai oleh lengkungan ke lateral dengan atau tanpa rotasi tulang belakang. Etiologi, onset, prognosis, dan terapi skoliosis dapat bervariasi, namun akibat skoliosis yang tidak diterapi sama, yaitu nyeri, yang disertai gangguan dalam keseimbangan, fungsi kardiopulmonal, emosional dan perilaku, serta aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS). Gejala yang paling umum dari skoliosis ialah adanya suatu lekukan yang tidak normal dari tulang belakang yang dapat berakibat nyeri, penurunan kualitas hidup dan disabilitas, deformitas yang mengganggu secara kosmetik, hambatan fungsional, masalah paru, kemungkinan terjadinya progresifitas saat dewasa, dan gangguan psikologis. Hal-hal yang harus diperhatikan pada pemeriksaan fisik ialah deviasi prosesus spinosus dari garis tengah, punggung yang tampak miring, rib hump, asimetri dari skapula, pinggul, bagian atas dan bawah trunkus (bahu dan pelvis), serta perbedaan panjang tungkai. Selain itu, pemeriksaan radiologik untuk melihat sudut Cobb juga penting untuk dilakukan. Terapi skoliosis dapat berupa observasi, terapi rehabilitasi yaitu pemberian modalitas, ortosis/brace, latihan, atau terapi invasif seperti operasi. Prognosis skoliosis dipengaruhi oleh jenis kelamin, ukuran kurva saat pertama kali ditemukan, tipe dan rotasi kurvatura dan usia saat onset skoliosis.Kata kunci : skoliosis, tulang belakang, rehabilitasi, latihan, ortosis
KADAR TUMOR NECROSIS FACTOR – α PADA SERUM PENDERITA MALARIA DENGAN GEJALA DEMAM Thiosanto, Monica; Bernadus, Janno; Tuda, Josef S. B.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 6, No 1 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Maret 2014
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.6.1.2014.4162

Abstract

Abstract: Malaria is classified as one of the infectious diseases that is very dangerous and can cause death. It is caused by parasites that live and thrive in human red blood cells. The disease is not just a problem in developing countries but also in developed countries. As an infectious disease, one of malaria clinical symptoms is fever. Theoretically, it is stated that TNF-α belongs to the cytokines that can cause fever. This was a descriptive study. The body temperatures of patients with malaria fever were measured and the levels of serum TNF-α were examined by using the ELISA method. There were 40 samples obtained by using simple random sampling. The results showed that moderate level of TNF-α (100-500 pg/ml) was found in 36 samples (90%); low level of TNF-α (<100 pg/ml) in 4 samples (10%); meanwhile high level of TNF-α was not found (0%). The data showed that although in most samples the increased body temperatures were associated by the increased TNF-α levels, this condition was not found in all samples Conclusion: In general, the levels of TNF-α increased in patients with malaria fever.Keywords: TNF-α, malaria, fever  Abstrak: Malaria tergolong sebagai salah satu penyakit infeksi yang sangat berbahaya dan dapat menyebabkan kematian. Penyakit ini bukan hanya menjadi masalah di negara berkembang, namun juga di negara-negara maju. Malaria disebabkan oleh parasit yang hidup dan berkembang dalam sel darah merah manusia. Sebagai penyakit infeksi, malaria memiliki gejala-gejala klinis, salah satunya ialah demam. Dikatakan bahwa TNF-α merupakan sejenis sitokin yang menyebabkan terjadinya demam. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan sampel sejumlah 40 penderita malaria yang diambil secara simple random sampling. Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran suhu tubuh penderita malaria yang disertai demam dan kadar serum TNF-α dengan menggunakan metode ELISA. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kadar TNF-α sedang (100-500 pg/ml) ditemukan pada 36 sampel (90%), kadar rendah (<100 pg/ml) pada 4 sampel (10%), sedangkan kadar tinggi tidak ditemukan (0%). Data yag diperoleh memperlihatkan bahwa walaupun pada sebagian besar kasus peningkatan suhu tubuh disertai dengan peningkatan kadar serum TNF-α, namun kondisi ini tidak berlaku bagi seluruh sampel. Simpulan: Kadar TNF-α umumnya meningkat pada penderita malaria yang mengalami demam.Kata kunci: TNF-α, malaria, demam
PENATALAKSANAAN PENYAKIT JANTUNG TIROID Wantania, Frans E.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 6, No 1 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Maret 2014
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.6.1.2014.4158

Abstract

Abstract : Thyroid heart disease is a heart disease caused by the effect of thyroid hormone. The incidence is still high among general population and may affect people of all ages. The most common etiology is Graves’s disease that occurs frequently in adults from 20-40 years of age. Thyroid hormone increases the total body metabolism and oxygen consumption that indirectly lead to an increased cardiac workload. The certain mechanism has not been fully understood, however, thyroid hormone may lead to an inotropic and chronotropic cardiac effects similarly to adrenergic stimulation effect. Patients commonly have palpitation and dyspnea. In elderly with coronary arterial disease, angina pectoris may occur simultaneously with the onset of hyperthyroidism. In addition, patients with hyperthyroidism may show symptoms of heart failure without any signs of heart disease before. The diagnosis of thyroid heart disease is based on the thyroid hormone levels i.e. high FT4 and low TSHs, meanwhile the diagnosis of heart failure due to complications of the hyperthyroidism is established by Framingham criteria that require either 2 major, or 1 major and 2 minor criteria. The treatment includes immediate decreasing of the hypermetabolic condition by administration of antithyroid drugs, and managing cardiovascular manifestation inter alia by reducing the heart rate and administration of antihypertensive drugs.Keywords: thyroid heart disease, diagnosis, treatmentAbstrak: Penyakit jantung tiroid adalah penyakit jantung yang disebabkan oleh pengaruh hormon tiroid. Insiden penyakit ini cukup tinggi di masyarakat dan dapat mengenai segala usia. Penyebab terbanyak ialah struma difus toksik (penyakit Graves), biasanya mengenai usia 20 – 40 tahun. Hormon tiroid meningkatkan metabolisme tubuh total dan konsumsi oksigen yang secara tidak langsung meningkatkan beban kerja jantung. Mekanisme secara pasti belum diketahui namun diketahui bahwa hormon tiroid menyebabkan efek inotropik dan kronotropik yang mirip dengan efek stimulasi adrenergik. Pasien sering mengalami palpitasi, irama jantung yang tidak teratur, dan sesak saat beraktivitas. Pada pasien lanjut usia yang memiliki dasar penyakit arteri koroner, angina pektoris dapat terjadi bersamaan dengan onset hipertiroidisme. Selain itu, pasien dengan hipertiroidisme dapat menunjukkan tanda-tanda gagal jantung kongestif tanpa kelainan jantung sebelumnya. Diagnosis penyakit jantung tiroid dapat ditegakkan dan dipastikan dengan pemeriksaan kadar hormon tiroid bebas, yaitu kadar FT4 yang tinggi dan TSH yang sangat rendah. Gagal jantung sebagai akibat komplikasi hipertiroid dapat ditegakkan dengan menggunakan kriteria Framingham, yaitu bila gejala dan tanda gagal jantung memenuhi 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor. Penatalaksanaan penyakit kardiovaskular pada hipertiroidisme ialah secepatnya menurunkan kondisi hipermetabolik dengan pemberian obat antitiroid untuk menurunkan kadar hormon tiroid dan menangani manifestasi kardiovaskular lainnya seperti menurunkan kecepatan irama jantung dan pemberian obat-obatan anti hipertensi.Kata kunci: penyakit jantung tiroid, diagnosis, penatalaksanaan
GAMBARAN FOTO LUMBAL PASIEN DENGAN GEJALA KLINIS NYERI PUNGGUNG BAWAH DI BAGIAN/SMF RADIOLOGI BLU RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2012 – DESEMBER 2012 Mutmainna, Sri C.; Ali, Ramli Hadji; Loho, Elvie
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 6, No 1 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Maret 2014
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.6.1.2014.4163

Abstract

Abstract: Low back pain (LBP) is pain sensation that involves the lower part of the back and spreads to the lower extremity especially on the back and outer parts. LBP is one of the musculoskeletal disorders caused by inappropriate activities. The pain sensation is classified as local, radicular, referred, or spasmodic pain. LBP is not a diagnosis but a symptom which is commonly found among the population. This study aimed to obtain the lumbar X-ray profile of patients with clinical diagnosis of LBP at the Department of Radiology Prof. Dr. R.D. Kandou Hospital, Manado, in 2012. This was an observational analytical study with a cross-sectional design. The results showed that among the LBP cases, based on gender, females (64.35%) were more frequent than males; and based on ages, >50 years was the most frequent age group (71.3%). Lumbar X-rays showed that spondylosis lumbalis was found in 42.96% of cases, other abnormalities 46.88%, meanwhile no abnormalities 10.16%. Conclusion: At the Department of Radiology Prof. Dr. R.D. Kandou Hospital, Manado, in 2012, the most frequent lumbar X-ray among the LBP patients was spondylosis lumbalis.Keywords: low back pain, clinical symptom, lumbar X-ray  Abstrak : Nyeri punggang bawah (NPB) adalah rasa nyeri yang terjadi di daerah punggung bagian bawah dan dapat menjalar ke kaki, terutama sebelah belakang dan samping luar. NPB termasuk salah satu gangguan muskuloskeletal yang disebabkan oleh aktivitas tubuh yang kurang baik. Keluhan nyeri dapat beragam dan diklasifikasikan sebagai nyeri yang bersifat lokal, radikular, menjalar (referred pain), atau spasmodik. NPB bukan suatu diagnosis namun merupakan suatu gejala yang banyak ditemukan di masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran foto lumbal penderita dengan gejala klinis nyeri punggung bawah di Bagian Radiologi BLU RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado tahun 2012. Penelitian ini bersifat analitik observasional yang menggunakan desain cross-sectional. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pada kasus NBP: berdasarkan jenis kelamin tersering didapatkan pada perempuan (64,35%), dan berdasarkan usia, tersering pada kelompok usia >50 tahun (71,3%). Hasil foto lumbal menunjukkan bahwa spondilosis lumbalis ditemukan pada 42,96% kasus, abnormalitas lainnya 4,88%, sedangkan tanpa kelainan 10,16%. Simpulan: Di Bagian/SMF Radiologi BLU RSUP Prof Dr. R.D. Kandou Manado, gambaran foto lumbal penderita dengan gejala klinis nyeri punggung bawah yang tersering ialah spondilosis lumbalis.Kata kunci: nyeri pinggang bawah, gejala klinis, foto lumbal
HERMETIA ILLUCENS ASPEK FORENSIK, KESEHATAN, DAN EKONOMI Wangko, Sunny
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 6, No 1 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Maret 2014
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.6.1.2014.4159

Abstract

Abstract: Hermetia illucens (Diptera: Stratiomyidae) is distributed throughout the temperate and tropic areas. Adults only need water to survive and are not attracted to human habitation or foods. Generally, adult females oviposit on organic waste of plants, animals, or humans. Larvae have 6 instars which make H. illucens applicable for the estimation of postmortem interval (PMI) at late-stage decomposition. Albeit, the consideration of environmental conditions is significantly needed for obtaining more accurate PMIs. Larvae of Hermetia illucens are useful in bioconversion of organic waste and can reduce the pollution of animal and human manure in a relative short time. Moreover, larva population can inhibit Musca domestica population and several kinds of microbes. The high nutrient content of these larvae make them suitable as animal food. Studies involving geographical, environmental, and seasonal conditions have to be developed to support the usage of Hermetia ilucens more accurately.Keywords: Hermetia illucens, postmortem interval, antimicrobial, bioconversion, animal food  Abstrak: Hermetia illucens (Diptera: Stratiomyidae) tergolong serangga yang umum ditemukan di daerah berikllim sedang dan tropis. Serangga dewasa hanya memerlukan air untuk mempertahankan hidup dan tidak tertarik pada habitasi atau makanan manusia. Umumnya dewasa betina beroviposisi pada sampah organik baik yang berasal dari tumbuhan, hewan, maupun manusia. Perkembangan larva sampai instar 6 memungkinkannya diaplikasikan untuk perkiraan postmortem interval pada tahap dekomposisi lanjut dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan di suatu daerah tertentu untuk mendapatkan PMI yang lebih akurat. Larva Hermetia illucens sangat bermanfaat dalam biokonversi sampah organik dan menurunkan polusi lingkungan akibat kotoran hewan dan manusia dalam waktu yang relatif singkat. Selain itu, populasi larva dapat menekan populasi Musca domestica, serta pertumbuhan berbagai jenis mikroba. Kandungan nutrien yang tinggi dari larva Hermetia illucens membuatnya ideal sebagai pakan ternak. Penelitian pada berbagai kondisi geografik, lingkungan, dan musim perlu dikembangkan agar pemanfaatan Hermetia illucens dapat diaplikasikan secara lebih akurat.Kata kunci: Hermetia illucens, postmortem interval, antimikroba, biokonversi, pakan ternak
PSORIASIS VULGARIS PADA BAYI Gaspersz, Shienty; Pandaleke, Herry E. J.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 6, No 1 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Maret 2014
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.6.1.2014.4166

Abstract

Abstract: Psoriasis may begin at any age but most often after puberty and only about 2% occurs in less than 2 years of age. The age of onset plays an important role because early onset psoriasis accompanied by a psoriasis family history is more severe and has a tendency to relapse. The treatment for mild psoriasis is topical and phototherapy. The first-line treatment is topical emollient, glucocorticoids, and vitamin D3 analog. We reported a case of a 3-month-old female infant presenting erythematous plaques with scales on scalp, face, neck, chest, tummy, armpit, back, buttock, and groin accompanied with irritability that had occured for a week. The Psoriasis Area Severity Index score (PASI) was 7% and laboratory examinations were within normal limits. Treatment with topical desonide 0.05% for 1 week did not result in any improvement. The treatment was changed to topical mometason furoat 0.1%. After 7 weeks of therapy, the plaques became flattened and less pigmented, and the PASI score decreased to 0.9%.Keywords: psoriasis vulgaris, infant  Abstrak: Usia awitan psoriasis bervariasi dari bayi hingga usia lanjut, namun sebagian besar timbul setelah pubertas dan hanya sekitar 2% terjadi pada usia kurang dari 2 tahun. Usia awitan perlu diketahui karena semakin dini usia awitan disertai adanya riwayat keluarga dengan psoriasis, perjalanan penyakit akan makin berat dan makin sering kambuh. Pilihan pengobatan pada psoriasis ringan (< 10%) ialah pengobatan topikal dan fototerapi. Pengobatan topikal lini pertama ialah emolien, glukokortikoid, dan analog vitamin D3. Kami melaporkan seorang bayi perempuan berusia 3 bulan yang datang dengan plak eritematosa, berbatas tegas, ukuran bervariasi, dengan skuama pada kepala, wajah, leher, dada, perut, ketiak, punggung, bokong, dan selangkangan, disertai rewel sejak 1 minggu lalu. Perhitungan Psoriasis Area Severity Index (PASI) 7%. Pemeriksan laboratorium masih dalam batas normal. Pasien diterapi dengan krim desonide 0,05%, namun setelah 1 minggu tidak terdapat perbaikan yang memuaskan, sehingga diganti dengan krim mometason furoat 0,1%. Setelah 7 minggu menggunakan mometason furoat, bercak merah yang awalnya meninggi menjadi hipopigmentasi dan mendatar serta perhitungan PASI menjadi 0,9%.Kata kunci: psoriasis vulgaris, bayi
SELULITIS DENGAN ULKUS VARIKOSUM Mitaart, Andravita F.; Pandaleke, Herry E. J.
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 6, No 1 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Maret 2014
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.6.1.2014.4165

Abstract

Abstract: Cellulitis is an acute bacterial infection of dermis and subcutaneous tissue which manifests as an erythematous lesion with an undefined border accompanied with inflammatory signs. It is mainly found in the elderly; more frequently in females than males; with a history of malaise, fever, and pain as the prodromal signs, and enlargement of local lymph nodes. Cellulitis can occur in any body region, most commonly on the lower limbs, followed by the arms, head, and, neck. It tends to occur in sites with prior lesions such as dermatitis, static ulcers (including varicose ulcers), animal bites, or trauma. A varicose ulcer is an ulcer located on the lower limb caused by a disturbance in the venous blood flow. We reported an 80-year-old woman, presented with cellulitis and varicose ulcers. The diagnosis was based on history, clinical signs, and laboratory findings. The therapy consisted of limb elevation; oral antibiotic clindamycin (300 mg), mefenamic acid (500 mg), and mebhydroline napadisilate (50 mg), each three times daily; and a topical therapy that was comprised of a wound dressing using NaCl 0.9% for 30 minutes three times daily and an application of sodium fusidate cream twice daily. After ten days of therapy, there were clinical improvements with wound healing without any sign of cellulitis.Keywords: cellulitis, varicose ulcer  Abstrak: Selulitis merupakan infeksi bakteri akut pada dermis dan jaringan subkutan yang ditandai lesi kemerahan berbatas tidak jelas dan disertai tanda-tanda radang. Umumnya selulitis ditemukan pada usia lanjut, perempuan lebih sering daripada laki-laki, dengan riwayat lesu, demam, dan rasa nyeri sebagai gejala prodromal, disertai pembesaran kelenjar getah bening setempat. Selulitis dapat terjadi pada bagian tubuh manapun dengan predileksi pada tungkai bawah diikuti lengan, kepala, dan leher. Selain itu, selulitis biasanya timbul pada lokasi dengan lesi yang telah ada sebelummya, yaitu dermatitis, ulkus stasis (termasuk ulkus varikosum), luka tusuk, gigitan binatang, atau trauma. Ulkus varikosum ialah ulkus pada tungkai bawah yang disebabkan gangguan aliran darah venosa. Kami melaporkan kasus seorang perempuan berusia 80 tahun dengan selulitis dan ulkus varikosum. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis, dan pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaannya ialah elevasi tungkai; antibiotik oral klindamisin 300 mg, asam mefenamat 500 mg, dan mebhidrolin napadisilat 50 mg, masing-masing 3 kali sehari; kompres solusio NaCl 0,9% selama 30 menit 3 kali sehari, dan natrium fusidat krim dioleskan 2 kali sehari. Setelah 10 hari paska terapi, terdapat perbaikan klinis berupa luka yang mulai mengering tanpa disertai tanda-tanda selulitis.Kata kunci: selulitis, ulkus varikosum
REHABILITASI MEDIK PADA ANAK DENGAN LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT Yenni, .
Jurnal Biomedik : JBM Vol 6, No 1 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Maret 2014
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.6.1.2014.4156

Abstract

Abstract: Acute lymphoblastic leukemia (ALL) is oftenly found in children as well as in adolescents. ALL occurs in 3-4 cases of 100,000 children. The specific etiology of ALL is still unknown, but it is related to a multifactorial process associated with genetic, immunology, environment, toxic substances, viral exposures, and ionization radiation. Clinical manifestations of ALL may include fatigue and weakness, palor, infections and febris that are not improved with antibiotics, easy bleeding or bruising, joint or bone pain, loss of appetite, weight loss, enlarged lymph nodes, cough, or difficulty of breathing, enlargement of the liver or spleen, swelling of the face and hands, headaches, and vomiting. Functional improvement is a goal for medical rehabilitation in patient with LLA. In general, cancer rehabilitation management aims to maintain body functions including mobilization and activity, nutrition, social support systems, and pain control. Moreover, the program is implemented in conjunction with specific interventions based on the affected organ systems.Keywords: ALL, medical rehabilitationAbstrak: Leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan kanker yang sering terjadi pada anak-anak dan remaja. LLA terjadi pada 3-4 kasus dari 100.000 anak. Etiologi spesifik LLA belum diketahui, tetapi berhubungan dengan proses multifaktorial yang berkaitan dengan genetik, imunologi, lingkungan, toksik, paparan virus, ionization radiation. Manifestasi klinik leukemia dapat berupa kelelahan dan kelemahan, kulit pucat, infeksi dan demam yang tidak sembuh dengan antibiotik, mudah berdarah atau memar, nyeri sendi atau tulang, hilangnya nafsu makan dan turunnya berat badan, pembesaran kelenjar limfe, batuk atau kesulitan pernafasan, pembesaran hati atau limpa, pembengkakan muka dan tangan, sakit kepala, dan muntah Perbaikan status fungsional merupakan tujuan utama rehabilitasi medik pasien LLA. Penanganan rehabilitasi kanker secara umum ialah untuk memelihara fungsi meliputi mobilisasi, aktivitas, nutrisi, sistem pendukung sosial dan pengendalian rasa nyeri. Keseluruhan program ini diterapkan bersamaan dengan intervensi spesifik berdasarkan sistem organ yang terkena.Kata kunci: LLA, rehabilitasi medik
PERBANDINGAN HASIL DETEKSI PLASMODIUM SPP ANTARA CARA PEMERIKSAAN MIKROSKOPIK TETESAN DARAH TEBAL DAN TEKNIK POLYMERASE CHAIN REACTION Sandra, Cindy; Tuda, Josef S. B.; Pijoh, Victor D.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 6, No 1 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Maret 2014
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.6.1.2014.4161

Abstract

Abstract: Malaria is still a health problem in the world, especially in undeveloped countries. This disease is caused by protozoa of the genus Plasmodium and has two ways of transmission, naturally (Anopheles spp.) and unnaturally. WHO mentioned that in 2006 there were as many as 200-300 million cases of clinical malaria with 880,000 deaths. In 2012, it was recorded that there were a total of 8,691 malaria cases in North Sulawesi, Indonesia. Therefore, an early diagnostic tool with high sensitivity and specificity is needed. This study aimed to compare the sensitivity and specificity in detection of Plasmodium spp by using thick blood smear method to Polymerase Chain Reaction (PCR). This was a diagnostic test using blood samples of 30 malaria patients at Budi Mulia Hospital and Manembo-nembo Hospital Bitung from September 2013 - January 2014. Thick blood smears were prepared and microcopically tested, then the specimens were scrapped and be further tested by using the PCR. The microscopic test showed 20 positive samples meanwhile the PCR showed 24 positive samples. A diagnostic test using predictive table 2x2 indicated that the PCR had 100% sensitivity in general, 60% specifity, 83.3% positive predictive value, and 100% negative predictive value. Conclusion: Compared to the thick blood smear, the PCR was more accurate in detecting plasmodia in malaria cases with a moderate specificity value and a high sensitivity value.Keywords: thick blood smear, Polymerase Chain Reaction (PCR), sensitivity, specificity  Abstrak: Malaria merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di dunia terutama di negara-negara yang belum berkembang. Malaria disebabkan oleh protozoa dari genus Plasmodium dan ditularkan melalui dua cara yaitu alamiah melalui nyamuk Anopheles spp. dan tidak alamiah. WHO melaporkan bahwa pada 2006 terdapat 200-300 juta kasus malaria dengan 880.000 kematian. Di Provinsi Sulawesi Utara, Indonesia, dilaporkan total kasus malaria tahun 2012 sebesar 8.691. Oleh karena itu diperlukan suatu alat diagnostik dini dengan sensitivitas dan spesifisitas yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan tingkat sensitivitas dan spesifisitas hasil deteksi Plasmodium spp antara cara pemeriksaan mikroskopik tetesan darah tebal dan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). Penelitian ini merupakan uji diagnostik dengan sampel darah dari 30 pasien malaria di RS Budi Mulia dan RS Manembo-nembo Bitung sejak September 2013 - Januari 2014. Setelah disiapkan tetesan darah tebal, dilakukan pemeriksaan mikroskopik. Selanjutnya, spesimen darah dikerok dan diperiksa dengan PCR. Hasil pemeriksaan mikroskopik menunjukkan 20 sampel positif malaria sedangkan pemeriksaan PCR 24 sampel positif malaria. Tes uji diagnostik dengan tabel prediktif 2x2 mendapatkan tingkat sensitivitas PCR secara umum sebesar 100%, spesifisitas 60%, nilai duga positif 83,33%, dan nilai duga negatif 100%. Simpulan: Dibandingkan tetesan darah tebal, pemeriksaan PCR dapat mendeteksi secara lebih akurat adanya plasmodia pada kasus malaria, dengan nilai spesifitas sedang dan nilai sensitivitas tinggi.Kata kunci: tetesan darah tebal, Polymerase Chain Reaction (PCR), sensitivitas, spesifisitas
TRACHYONYCHIA ASSOCIATED WITH ALOPECIA AREATA AND SECONDARY ONYCHOMYCOSIS Anggowarsito, Jose L.; Kandou, Renate T.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 6, No 1 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Maret 2014
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.6.1.2014.4164

Abstract

Abstract: Trachyonychia is an idiopathic nail inflammatory disorder that causes nail matrix keratinization abnormality, often found in children, and associated with alopecia areata, psoriasis, atopic dermatitis, or nail lichen planus. Trachyonychia could be a manifestation of associated pleomorphic or idiopathic disorders; therefore, it may occur without skin or other systemic disorders. There is no specific diagnostic criteria for tracyonychia. A biopsy is needed to determine the definite pathologic diagnosis for nail matrix disorder; albeit, in a trachyonychia case it is not entirely necessary. Trachyonychia assessment is often unsatisfactory and its management is focused primarily on the underlying disease. We reported an 8-year-old girl with twenty dystrophic nails associated with alopecia areata. Cultures of nail base scrapings were performed two times and the final impression was trichophyton rubrum. Conclusion: Based on the clinical examination and all the tests performed the diagnosis of this case was trachyonychia with twenty dystrophic nails associated with alopecia areata and secondary onychomycosis.The majority of trachyonychia cases undergo spontaneous improvement; therefore, a specific therapy seems unnecessary. Onychomycosis is often difficult to be treated. Eradication of the fungi is not always followed by nail restructure, especially if there has been dystrophy before the infection.Keywords: trachyonychia, alopecia areata, onychomycosis.  Abstrak: Trakionikia adalah inflamasi kuku idiopatik yang menyebabkan gangguan keratinisasi matriks kuku, sering terjadi pada anak, dan terkait dengan alopesia areata, psoriasis, dermatitis atopik atau lichen planus kuku. Trakionikia bisa merupakan manifestasi dan asosiasi dari gangguan pleomorfik atau idiopatik, sehingga dapat terjadi tanpa kelainan kulit dan gangguan sistemik lainnya. Tidak terdapat kriteria diagnosis khusus untuk trakionikia. Diagnosis patologik definitif untuk kelainan matriks kuku ialah melalui biopsi, namun hal ini tidak disarankan. Penanganan trakionikia sering tidak memuaskan dan fokus manajemen terutama ditujukan pada penyakit yang mendasarinya. Kami melaporkan seorang anak perempuan berusia 8 tahun dengan dua puluh kuku distrofik disertai alopesia areata. Kultur dari kerokan dasar kuku dilakukan dua kali dengan hasil trichophyton rubrum. Simpulan: Berdasarkan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang, diagnosis kasus ini ialah trakionikia dengan 20 kuku distrofik disertai alopesia areata dan onikomikosis sekunder. Mayoritas kasus trakionikia dilaporkan mengalami perbaikan spontan sehingga terapi khusus untuk trakionikia sering tidak diperlukan. Onikomikosis sering sulit diobati. Eradikasi jamur tidak selalu disertai perbaikan struktur kuku, terutama bila telah terjadi distrofi kuku sebelum infeksi.Kata kunci: trakionikia, alopesia areata, onikomikosis.

Page 1 of 2 | Total Record : 11


Filter by Year

2014 2014


Filter By Issues
All Issue Vol. 14 No. 2 (2022): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 13, No 3 (2021): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 13, No 2 (2021): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 13, No 1 (2021): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 12, No 3 (2020): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 12, No 2 (2020): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 12, No 1 (2020): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 11, No 3 (2019): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 11, No 2 (2019): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 11, No 1 (2019): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 10, No 3 (2018): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 10, No 2 (2018): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 10, No 1 (2018): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 9, No 3 (2017): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 9, No 2 (2017): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 9, No 1 (2017): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 9, No 1 (2017): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen Vol 8, No 3 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 8, No 2 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen Vol 8, No 2 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 8, No 1 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 7, No 3 (2015): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen Vol 7, No 3 (2015): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 7, No 2 (2015): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 7, No 1 (2015): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 6, No 2 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Juli 2014 Vol 6, No 1 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Maret 2014 Vol 6, No 3 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 6, No 3 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen Vol 5, No 3 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 5, No 3 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen Vol 5, No 2 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 5, No 1 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen Vol 5, No 1 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 4, No 3 (2012): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 4, No 3 (2012): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen Vol 4, No 2 (2012): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 4, No 1 (2012): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 3, No 3 (2011): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 3, No 2 (2011): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 3, No 1 (2011): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 2, No 3 (2010): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 2, No 2 (2010): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 2, No 1 (2010): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 1, No 3 (2009): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 1, No 2 (2009): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 1, No 1 (2009): JURNAL BIOMEDIK : JBM More Issue